Pentingnya Analisis dan Penulisan Karya Melalui cara Kritik Seni (Bagian 1)
Oleh Nasbahry Couto
Karya Syafrizal 2004
Mengapa harus menulis?
Adalah menarik apa yang di kemukakan oleh Atmazaki (2005) bahwa berkomunikasi dengan pihak lain merupakan tuntutan profesionalisme. Kemajuan karier akademik, dunia usaha, dan kepemimpinan amat ditentukan oleh kemampuan berkomunikasi baik lisan (berbicara dan mendengar) maupun tertulis (menulis dan membaca). Orang-orang yang memiliki karier yang cemerlang, pengusaha sukses, pemimpin besar dapat dipastikan juga sebagai orang yang hebat dalam berkomunikasi.Orang-orang seperti itu selalu menjadi rujukan bagi banyak orang. Pidatonya didengarkan, ceramahnya dihayati, kata-katanya dikutip banyak orang. Bahkan surat-suratnya diterbitkan agar dapat dibaca oleh generasi berikutnya. Kita mengenal surat-surat Kartini, surat-surat H.B. Jassin; kita mengenal memoar Bung Hatta, memoar Edwar Said; kita mengenal catatan pinggir Gunawan Mohamad; esai-esai Pramudia Ananta Toer. Banyak lagi tulisan-tulisan memukau yang dapat kita baca yang dapat memberikan inspirasi bagi kita untuk belajar menulis. Tulisan mereka kita cari dan kita “lahap”, ucapan mereka kita ulangi ketika berpidato, pengalaman mereka kita jadikan perbandingan untuk menambah daya tarik komunikasi kita. Orang-orang sukses dalam menulis itu adalah juga pembaca yang “rakus” karena untuk dapat menulis dengan baik seseorang harus juga menjadi pembaca yang baik. Dan juga pengamat yang baik. Dalam bidang seni juga diperlukan pengamat dan penulis yang baik dan itulah alasannya saya menulis laman ini dan topik "Pentingnya Analisis dan Penulisan Karya Melalui cara Kritik Seni".
Mengapa Harus bisa menuliskan apa yang Anda lihat ?
Menurut Belinsky, V.G. menulis
bukan sembarang menulis, jika kita menuliskan sesuatu berdasarkan
pikiran kita berarti kita melihat secara kritis. Sebab, biasanya seni
adalah urusan perasaan. Kita tidak perlu menulis bagaimana perasaan kita
tentang sebuah karya seni. Sedapat mungkin pikiran semacam ini dibuang,
sebab orang lain juga memiliki perasaan-perasaan yang sifatnya
pribadi.
Kritik seni adalah sebuah alat dalam
mengalisis seni. Tentu saja seorang kritikus bisa bermain kata dan
mengidentifikasi beberapa fitur penting dari karya seni, tetapi tidak
selalu dan tidak sepenuhnya berhasil dan diterima jika terlalu
intuitif, simbolik, dan saintifik.
Kritik seni adalah kegiatan
intelektual, terutama kemampuan menulis apa yang dilihat. Oleh karena
itu melihat secara intelektual adalah sebuah penetrasi kebenaran
tentang apa yang terlihat. Namun ahli matematik juga menggunakan
intelektualnya dalam melihat dan mencari kebenaran, namun cara
melihatnya berbeda sebab mereka menggunakan dalil-dalil dan simbol
kuantitatif dalam melihat. Hasilnya akan berbeda dalam cara orang
melihat seni. Sebab kebenaran yang dicari menyangkut kualitas materi,
estetik, kemanusiaan, sosial dan budaya, walaupun yang dilihat benda
yang sama. Kemampuan seperti ini perlu dikembangkan, sebab dalam
sejarah seni terlihat, banyak karya seni yang tidak “berbicara” dan
dibahas. Karya semacam ini tinggal dalam kotak kegelapan estetik,
kemanusiaan, sosial dan budaya, tidak berbunyi, tidak diketahui lagi
apa, siapa dan bagaimana dan kenapa.
Menurut ahli pendidikan seni,
kemampuan berbahasa bukan hanya karena berpikir kritis dan atau karena
kita menguasai bahasa bicara, tetapi kemampuan mengutarakan dengan kosa
kata yang tepat tentang apa yang dilihat. Sebab ada hubungan antara
melihat dengan kosa kata bahasa yang benar.
Fungsi Kritik Karya Seni
Oleh karena itu, menurut penulis,
kritik seni memiliki empat fungsi penting untuk mengkomunikasikan dunia
seni dengan alasan sebagai berikut ini.
Memahami dan mengkomunikasikan karya masa lalu.
Kritik seni adalah sebuah kegiatan untuk membahas karya masa lalu dan
ditafsirkan dengan pemahaman manusia masa kini. Untuk memahami hasil
seni dengan latar kebudayaan yang berbeda dan zamannya. Contoh,
bagaimana kritik seni dilakukan untuk memahami lukisan-lukisan Leonardo
da Vincy dengan cara baru, atau karya budaya etnik Dayak di Kalimantan,
Indonesia dengan konsep pikiran masyarakat Dayak asli. Fungsi ini
dipakai memahami makna konsep seni masa lalu, untuk pembuatan karya
tulis dengan pemakaian bahasa yang tepat.
Di bawah ini adalah sebuah contoh, bagaimana seorang anak masa kini menulis tentang karya George Seurat, "An Afternoon at La Grande Jette". Karya ini mungkin telah ribuan kali di bahas orang. Tetapi kritik seni bukanlah untuk mengulangi apa yang telah di tulis, tetapi untuk melihatnya dengan cara baru.
Di bawah ini adalah sebuah contoh, bagaimana seorang anak masa kini menulis tentang karya George Seurat, "An Afternoon at La Grande Jette". Karya ini mungkin telah ribuan kali di bahas orang. Tetapi kritik seni bukanlah untuk mengulangi apa yang telah di tulis, tetapi untuk melihatnya dengan cara baru.
Karya George Seurat, "An Afternoon at La Grande Jette"
Dia menulis seperti ini.(Tulisan ini
sebenarnya penerapan dari 4 tahap kritik, tetapi penulis sengaja
hilangkan tahapan ini untuk melihat keutuhan tulisan)"The painting shows a group of people standing around a beach or lake. The clothes that the people are wearing are an older style. The skirts the women are wearing are large, and some of the men are wearing top hats. A man is sitting on the front left side wearing a baseball hat and a sleeveless shirt.There is a woman and a man on the rightside, who are standing in the shade, with some animals around them, including a dog. There are a number of people sitting around and looking at the water. Some of the women have umbrellas, although it is not raining. Some of the people are in the shade.The painting shows a contrast of light and dark colors. The artist creates space by having the beach and people go back in the painting. There are no real lines in the painting because it is painted in a pointilist style. The artist shows texture in the dresses and on the grass.The artist uses different color values for the clothes and on the grass to show the difference between the shaded area and sunny area. the painting shows a realistic scene.I think that the painting is about people gathering around outside on a nice day and looking at the water. Maybe they are all there on a weekend day. There are lots of people in the picture, some are sitting down and maybe having a picnic. There are some boats in the distance on the water and maybe the they are watching a boat race.I think that this is a good painting because the artist uses a different style to create the image and uses alot of different colors. The contrast between the shaded area and the light area shows that it is a sunny day. The artist uses different colors and values, and creates a unique texture through his style of painiting."
Nicholas
Orem Art , Critique Example.
Memahami dan mengkomunikasikan karya seni pada masa Kini.
Karya seni pada dasarnya dibuat setiap hari di berbagai tempat, dan
waktu. Dan tidak selalu dapat dipahami. Kritik seni ditujukan untuk
memahami karya seni masa sekarang, apa yang terjadi, dan memprediksi
kemungkinan terbaik untuk masa yang akan datang. Misalnya kegiatan
kritik yang dilaksanakan di sekolah, adalah usaha untuk memahami apa
yang dibuat siswa, dan apa gunanya. Kebanyakan kegiatan seni disekolah,
dipahami siswa hanya karena tugas yang diberikan guru, dan guru memahami
hanya karena ditugaskan kurikulum sesuai panduan RPP. Benar seperti
yang dikatakan Edward de Bono, sebuah konsep ibarat membuat “tali
gantungan”, yang akan menjerat leher si pembuat tali karena kekakuan
yang ada pada konsep. Mengkomunikasikan seni masa kini adalah dalam
rangka membuka wawasan kepada konsep-konsep baru, dan tidak lagi dijerat
oleh konsep-konsep lama yang tinggal dalam sejarah. Barang baru di
lihat dengan cara baru, itulah kegiatan kritik seni yang sebenarnya.
Sebagai Bahan Tulisan/Artikel.
Kritik seni dapat berfungsi sebagai kegiatan awal sebagai pelengkap
karya tulis seperti artikel, tulisan ilmiah dan sebagainya. Artinya
kritik seni adalah sebuah kegiatan khusus untuk menganalisa karya yang
berbeda dengan kegiatan penulisan artikel. Misalnya, sebelum penulis
menulis sebuah artikel dia dapat melaksanakan teknik kritik (ada 4
tahap), mencatat hasilnya untuk melengkapi artikel yang ditulisnya.
Alasannya cukup logis, bagaimana seseorang dapat menulis sebuah artikel
tentang karya seni tampa mendapat informasi dan analisa yang cukup
tentang karya yang dibahasnya? Dalam hal ini harus dibedakan antara
kegiatan kritik seni dengan kegiatan penulisan seni.
Memahami Fungsi Kritik sebagai alat komunikasi ide dan Motivasi.
Karya seni itu dapat mengalami friksi (pergeseran) dalam konsep dan
makna. Dapat berubah fungsinya sesuai dengan waktu, tempat dan motivasi
yang melatarbelakanginya. Misalnya karya Van Gogh, pada awalnya adalah
ekspresi seniman, fungsi utama ini berubah saat lukisan ini dipajang
sebagai penghias ruangan, pembentuk suasana di ruangan. Dalam hal ini
pokok persoalannya adalah tentang gaya dekorasi ruangan atau interior,
bukan lagi tentang ekspresi seni lukis. Piramida mesir pada awalnya
dibuat untuk kuburan raja. Lambang atau tanda-tanda yang dibuat berguna
untuk kebesaran raja. Namun pada masa sekarang dipakai untuk tujuan
parawisata dan sehingga sistem rupa dan tanda di piramida berubah karena
untuk para pelancong. Kritik dalam hal ini ditujukan untuk memahami
fungsi seni untuk parawisata. Contoh lain, motivasi surat kabar dalam
membuat kritik seni adalah pemberitaan, hal ini berbeda dengan motivasi
seorang penulis kritik seni yang menekankan pemakaian semiotik ;
berbeda dengan kurator pameran yang berusaha agar karya seniman
meningkat dimata pengunjung pameran. Perubahan-perubahan motivasi ini
dapat merubah orientasi, pokok soal, dan tekanan pembahasan kritik
seni. Pikiran seperti ini dikemukakan oleh Fillip (2011) dalam artikelnya “Judgment and Contemporary Art Criticism” sebagai berikut.
Over the course of the past decade, we have seen unrelenting levels of market speculation in contemporary and historical art at the same moment that global conflict and war has escalated and world economies have begun to crumble. Concurrent to these developments, there has been a new wave of interest directed toward the efficacy and function of art criticism. Judgment and Contemporary Art Criticism will engage with many of the key issues coming out of these conversations, specifically returning to the role of judgment and valuation in contemporary art writing.
Sudut Pandang Teori Kritik
Pada hakikatnya tipe kritik seni
adalah suatu dasar kerja, prosedur, atau metode penilaian karya seni
dilihat dari sudut pandang teori atau fisosofis tertentu. Tipe kritik
seni ada kalanya didasarkan pada kriteria yang dipakai, di saat yang
lain berdasarkan teori dan doktrin seni, dan adakalanya dari konsep
penulis diantaranya adalah berikut ini.
- Wellek, (1964: 345-346) Membagi kecenderungan kritik seni abad ke-20 menjadi enam, yaitu kritik Marxis, kritik Psikoanalitik, kritik linguistic-stilistik, kritik neo organistik, kritik formalis, dan kritik formalis eksistensialis
- Feldman, (1967: 451-452) Memperkenalkan kritik jurnalistik, kritik pedagogik, kritik ilmiah, dan kritik popular.
- Pepper, (1970) Membagi tipe kritik menjadi empat, yakni kritik mekanistik, kritik kontekstualis, kritik organik, dan kritik formisme.
- Wilson, (1971:33-42) Menurut Weitz, struktur kriteria atau standar kritik seni mengacu pada teori seni yang terpenting dan berpengaruh dalam dunia seni, yakni konsep imitasionalisme, eksperionisme, emosionalisme, formalism, dan organisisme.
- Stonizt, (1986: 7-10) Tipe kritik normatif, kritik kontekstual, kritik impresionis, kritik intensionalis, dan kritik intrinsik.
- Hosper, (1992: 44) Berdasarkan penggolongan tersebut dikenal istilah isolasionisme dan kontekstualisme.
- Barret, (1994: 102-105) Pakar lain membedakan kriteria penilaian seni menjadi enam, yaitu realisme, ekspresionisme, formalism, instrumentalisme, originalitas dan Keahlian.
- Breadsley dan Kemp memperkenalkan tipe kritik intensionalis. Golman membagi tipe kritik menjadi formalis dan kontekstual. (Herarti, 1984: 105-106)
- Gastel membagi tipe kritik menjadi tiga, yakni kritik klasik, kritik romantic, dan kritik impresionisme. (Sudarmaji, 1979: 33-34)
Pada dasarnya kritik seni memiliki
banyak persamaan antara satu dengan yang lainnya. Misalnya, tipe kritik
formalism, intrinsik, dan isolasionisme sebenarnya mempunyai maksud dan
tujuan yang sama, meski istilahnya berbeda. Demikian pula dengan kritik
impresionistik dan mekanistik. Akan tetapi, bisa dipahami betapa besar
usaha yang telah dilakukan untuk menemukan metode penilaian yang lebih
tepat, lebih rasional, dan lebih bisa dipertanggungjawabkan.
Sudut Pandang Profesi
a.Profesi Wartawan: Kritik Jurnalistik
Tipe kritik dapat disederhanakan
menjadi sudut pandang profesi penulis kritik, dan hal ini dijelaskan
oleh Feldman. Menurut Feldman ada tipe kritik yang ditulis untuk para
pembaca surat kabar dan majalah. Tujuannya memberikan informasi tentang
berbagai peristiwa dalam dunia seni. Isi dari kritik Jurnalistik berupa
ulasan ringkasan dan jelas mengenai suatu pameran, pementasan, konser,
atau jenis pertunjukan seni lain di tengah masyarakat. Sifat utama
kritik Jurnalistik adalah aspek berita. Kewajiban seorang wartawan
adalah memuaskan rasa ingin tahu para pembaca yang beragam, di samping
untuk menyampaikan fenomena estetik. Pada umumnya kritikus menghindari
penulisan yang panjang, agar tidak menyita kolom berita yang berlebihan.
Majalah Time dan Tempo di Indonesia
merupakan contoh media yang menerapkan tipe kritik jurnalistik dalam
rubric kesenian mereka. Ada juga Jurnal Bulanan Seni (Eropa, Amerika,
Australia) yang menyajikan kritik jurnalistik dengan konsep lain. Jurnal
ini berisi kritik tajam kepada museum dan lembaga sosial yang gagal
memberik dukungan kepada seniman favorit mereka.
Pada umumnya kritik seni dapat
menimbulkan perbedaan pendapat dalam kehidupan seni kontemporer.
Kritikus seni, seperti Hilton Kramer dan Frank Getlein, dengan
mewawancarai pendukung Action Painting seperti Harols Rosenberg dan
Thomas Hess menimbulkan forum bebas pendapat tahun 1950-an.
Karena seringnya kritik tipe ini
ditulis dan waktu penulisan yang terbatas, maka informasi yang
disampaikan memiliki resiko tidak akurat. Penarikan kesimpulan yang
cepat dan analisis yang dangkal menyebabkan kritikus cenderung
menginterpretasikan seni tanpa analisis dan pembuktian yang akurat.
Akhirnya kritik jurnalistik bisa jatuh hanya menjadi sekumpulan opini
tentang reputasi seni yang sedang berkembang.
Karya Iswandi, 2004.
b. Profesi Pengajar: Kritik Pedagogik
Kritik seni pembelajaran diterapkan
dalam proses belajar mengajar di lembaga pendidikan seni. Memiliki dua
orientasi, satu untuk berkarya (bukan untuk menjadi "tukang"). Kedua untuk mencerdaskan anak didik melalui kemampuan konsep dan berbahasa kritik seni.Untuk
berkarya, jenis kritik ini dikembangkan oleh para dosen dan guru seni,
tujuannya terutama penerapan konsep-konsep lama dalam sejarah seni dan
atau pembentukan konsep-konsep baru dalam berseni. Bukan soal
mengembangkan bakat dan kreativitas dan atau kepribadian murid, sebab
konsep pendidikan seni seperti ini sudah tak dipikirkan lagi. Kritik
seni adalah mengembangkan kecerdasan mengamati, berbahasa dan menulis.
Menurut penulis, pelaksanan kritik seni di sekolah umum sangat penting.
Melalui kegiatan ini siswa/mahasiswa diharapkan mampu menggunakan,
memperkaya dan mengembangkan pemakaian kosa kata bahasa verbal sesuai
dengan tingkat kesulitan berbahasa Indonesia yang baik.
Demikian pentingnya kecerdasan mengamati, berbahasa dan menulis,
sehingga peringkat pendidikan seni di Amerika (untuk kelas 1,2,3
dan seterusnya), bukan diukur dari tingkat kesulitan ketrampilan teknis
berseni (prakarya, menggambar, melukis atau mematung). Tetapi dari
tingkat kesulitan konsep, pemahaman konsep dan pembentukan konsep dalam
seni.
Memahami dunia seni berarti
memahami dunia materi secara cerdas, (dunia apa yang dilihat) dari tari,
musik, rupa, drama. Pembelajaran tidak bisa langsung ketingkat yang
sulit seperti yang terdapat pembelajaran seni budaya. Hubungan seni
dengan konsep-konsep budaya di berikan pada kelas terakhir. Pada
awal-awal pendidikan seni siswa/mahasiswa dikenalkan kepada ketrampilan
teknis dalam hal-hal apa saja “pembangkit bentuk” (form generator)
dunia materi. Pada tahap ini terdapat tahap kesulitan dari yang
sederhana ke tingkat yang sulit dari pembangkit bentuk. Gambar
atau drawing adalah salah satu pokok soal dalam pembangkit bentuk
paling awal, melalui berbagai kosa kata seperti titik, garis dan bidang.
Selanjutnya konsep bentuk dihubungkan ke prinsip-prinsip preskriptif
bentuk seperti estetika; komposisi; penggunaan “golden section”, atau
matematika untuk bentuk geometris ruang dan lainnya; lalu ke bahasa
bentuk sebagai alat komunikasi; terakhir baru masuk ke hubungan seni
budaya. Pelaksanaan kritik
seni di sekolah disejalankan dengan peringkat tingkat kesulitan,
penguasaan kosa kata dan konsep-konsep yang sudah dikuasai oleh murid.
c. Profesi Peneliti: Kritik (Riset) Ilmiah
Kritik ilmiah atau kritik akademik
adalah label yang digunakan di Indonesia sebagai alih bahasa dari
scholary criticism . Namun menurut penulis isi dan kegiatannya
sebenarnya bukan mengkritik, tetapi riset untuk menyangkal dan atau
membenarkan sebuah hipotesis seni. Yaitu melakukan pengkajian seni
secara luas, mendalam, dan sistematis. Misalnya, menggunakan prosedur
penelitian deskriptif untuk mengungkap kebenaran seni masa lalu, dan
riset normatif untuk kepentingan seni masa kini dan riset rancangan seni
untuk kepentingan ke masa depan.
d. Nonprofesi, Orang Awam: Kritik Popular
Kritik populer adalah untuk
menjelaskan jenis penulisan untuk orang awam. Kritik jenis ini mirip
dengan kritik jurnalistik. Sebab wartawan menulis untuk orang
biasa/umum. Jika wartawan memiliki kemampuan menulis untuk tujuan
berita, hal seperti ini mungkin tidak menjadi tujuan kritik pop. Disebut
popular (pop), karena disukai orang banyak, sesuai dengan selera, dan
kebutuhan masyarakat saat itu; dipahami orang, dikagumi tanpa perlu
argumen ilmiah. Jenis kritik ini berkembang diseluruh dunia, termasuk
Indonesia. Tipe pop adalah suatu gejala umum dan kebanyakan dihasilkan
oleh para kritikus gunanya untuk menarik perhatian masyarakat saja.
Profesi Kritikus dan Organisasi Kritik Seni
a. Profesi Kritikus
Istilah kritikus seni adalah istilah
lazim yang berlaku di negara-negara Eropah dan Amerika. Profesi ini
kurang dikenal di Indonesia, sebab sebab pengakuan bahwa seseorang
adalah kritikus, hanya berdasarkan “reputasi” mereka di kalangan
jurnalistik, dan dilakukan tanpa membedakan latar belakang profesinya.
Pendapat bahwa seorang kritikus
harus memiliki pengetahuan mendalam tentang topik tertentu dan didasari
dengan pendidikan yang komprehensif, menurut penulis pendapat ini
terlalu berlebihan (lebay). Kritik seni dapat dilakukan siapa saja asal
tahu rambu-rambunya, misalnya kritik seni yang dilakukan di sekolah
dapat dibimbing oleh guru yang berpengalaman dalam mengajar.
Semestinya, seperti yang terdapat di
luar negeri, seorang kritikus adalah seorang profesional (dalam hal
pekerjaan menulis) yang mengkomunikasikan atau pendapat dan penilaian
dari berbagai bentuk karya kreatif seperti seni, sastra, musik, sinema,
teater, fashion, arsitektur dan makanan. Penilaian kritis kritikus
bisa saja berasal dari pemikiran kritis atau tidak, bisa positif,
negatif, atau seimbang, pemikiran yang berat atau ringan, atau kombinasi
berbagai faktor antara mendukung dan yang menentang.
Di Indonesia ada beberapa penulis
yang dapat dianggap sebagai kritikus, tetapi keberadaannya hanya dikenal
dan dicatat dalam buku yang terkait dengan sejarah seni Indonesia
seperti S.Sujojono, Trisno Sumarjo, Kusnadi, Dan Suwaryono, Popo
Iskandar, Agus Dermawan T, dan Bambang Bujono Sujoyono, dan sebagainya ,
disamping itu juga banyak penulis lain seperti, Sanento Yuliman, Jim
Supangkat yang tidak perlu disebut satu persatu.
Cuma sayang sekali bahwa keberadaan
Indonesia dalam kancah organisasi kritik seni Internasional sampai hari
ini belum diketahui. Menurut catatan di bawah ini, Indonesia belum
menjadi anggota AICA. Hal ini mungkin salah satu sebab menjadikan
Indonesia menjadi bulan-bulanan para pedagang seni, karena dunia kritik
seni Indonesia lemah. Ajang Bhienale dan sejenisnya yang berkembang
menurut penulis bukan untuk menguatkan peran wacana seni, dan pengembang
penulis kritik di Indonesia, karena hanya perpanjangan dari
tangan-tangan bisnis seni korporat.
Barangkali kita perlu sedikit memahami tentang AICA, sebagai asosiasi kritik seni internasional dan sejarahnya.
b.Asosiasi Kritik Seni internasional: International Association of Art Critics” (AICA)
Menjelang akhir tahun empat puluhan,
ketika banyak sekolah dan gerakan yang beragam dari seni yang
berkembang, kritikus seni, sejarawan seni dan pendidik seni, serta
kurator dari museum seni modern berkumpul dalam dua kongres di Markas
Besar UNESCO (1948 dan 1949). Tujuan mereka adalah untuk membandingkan
sudut pandang mereka tentang pekerjaan dari kritik seni, yaitu untuk
menganalisis tanggung jawab mereka dalam tentang seniman dan masyarakat,
dan untuk menguraikan sifat tertentu kontribusi mereka dalam kaitannya
dengan perkembangan di bidang sejarah seni. Bersidang dari seluruh
dunia, mereka termasuk di antara mereka nama yang paling bergengsi
seperti: André Chastel, Jorge Crespo de la Serna, Pierre Courthion,
Charles Estienne, Chou Ling, Miroslav Micko, Sergio MILLIET, Marc
Sandoz, Gino Severini, James Johnson Sweeney, Albert Tucker, Lionello
Venturi, Eduardo Vernazza, Marcel Zohar, Paul Fierens, Herbert Read dan
lain-lain.
Gambar Peta anggota AICA dunia, dimana Indonesia tidak termasuk anggotanya.
Setelah dua kongres internasional
ini di UNESCO, Asosiasi Internasional Kritik Seni “The International
Association of Art Critics” (AICA) yang didirikan pada tahun 1950, baru
diakui pada tahun 1951 seperingkat denganLSM (NGO). AICA terdiri dari
berbagai ahli yang ingin mengembangkan kerjasama internasional di bidang
kreasi seni, sosialisasi dan pengembangan budaya.
AICA menyatukan beberapa 4.600
profesional seni dari sekitar 95 negara di seluruh dunia, disusun dalam
62 Bagian Nasional dan Seksi Terbuka. AICA terutama terwakili di semua
bagian Eropa, Australia, Amerika Utara dan Selatan dan Karibia. Memiliki
Bagian Nasional sangat aktif di Timur Tengah dan negara-negara Asia
(Israel, Singapura, Jepang, Hong Kong-, Pakistan, Korea Selatan) dan
sejumlah Bagian Afrika telah dibentuk dalam beberapa tahun terakhir.
Dalam sepuluh sampai lima belas tahun terakhir, Kongres Tahunan telah
diselenggarakan di tempat-tempat terpisah sejauh Karibia, Hong Kong-,
Ljubljana, Macau dan Tokyo, serta di Eropa, dan konferensi internasional
terbaru yang akan diselenggarakan oleh AICA memiliki diselenggarakan di
Dakar (Juli 2003) dan Istanbul (September 2003), Addis Ababa (Januari
2006) dan, baru-baru ini, Cape Town (November 2007) dan Skopje (Mei
2009).
Tujuan AICA
Tujuan utama dari AICA telah berubah
secara pelan selama bertahun-tahun. Namun, tujuan ini telah dirumuskan
kembali pada bulan November 2003, untuk menekankan lebih jauh jangkauan
global Asosiasi, ambisi lintas budaya dan pendekatan interdisipliner.
Seperti saat ini menyatakan, tujuan utama AICA adalah berikut ini.
- Untuk mempromosikan kritik seni sebagai suatu disiplin dan berkontribusi terhadap metodologi
- Untuk melindungi kepentingan etis dan profesional anggotanya dan bekerja sama dalam membela hak-hak mereka
- Untuk menjaga jaringan internasional yang aktif untuk anggotanya, dengan bantuan teknologi yang tersedia dan dorongan dari tatap muka pertemuan
- Untuk berkontribusi adanya saling pengertian antara seni visual dan estetika dalam semua kebudayaan
- Untuk merangsang hubungan profesional melintasi batas-batas politik, geografis, etnis, ekonomi dan agama
- Untuk membela memihak kebebasan berekspresi dan berpikir dan menentang sewenang-wenang sensor.
Kualifikasi untuk Keanggotaan AICA
Calon dipilih oleh rekan-rekan
mereka. Agar memenuhi syarat, mereka harus menghasilkan bukti kegiatan
yang berkelanjutan selama tiga tahun sebelumnya, dalam satu atau lebih
bidang berikut:
- Bukti kegiatan di harian / pers berkala, atau siaran di radio, TV atau video, atau media elektronik
- Publikasi karya sejarah seni, estetika atau kritik
- Pengajaran kritik seni, sejarah seni, estetika, kurasi, atau seni, pada tingkat yang lebih tinggi atau tersier
- Pekerjaan kuratorial dan analisis untuk pendidikan atau ilmiah terakhir, termasuk produksi ilmiah atau kritisi untuk museum atau galeri, yang tujuan utamanya tidak didasari komersil.
Dengan posisinya yang di
persimpangan budaya, tujuan utama AICA adalah untuk melayani kreativitas
masa kini/ kontemporer, posisi ini berada pada posisi yang lebih baik,
berperan dalam berbagai kegiatannya yang meningkat di seluruh dunia,
berkat luasnya representasi dan kontak mempertahankan.
Bagaimana caranya Menulis
Sampai disini, kita perlu memahami
lagi apa yang dikemukakan oleh Atmazaki (2005). Dia mengatakan tidak
ada orang yang tiba-tiba pandai menulis atau mengarang. Orang yang mampu
menulis sebuah artikel menarik dalam semalam tidak berarti semua yang
dituliskannya muncul dalam semalam itu. Waktu yang semalam hanya untuk
mengetikkannya, tetapi sebelumnya ia telah mengumpulkan bahan sejak
lama, bahkan sejak masa kecil. Orang itu telah berlatih menguasai
teknik-teknik menulis jauh sebelum malam pengetikan itu. Oleh sebab itu,
di samping banyak mendengar dan membaca, elemen-elemen dasar dalam
menulis perlu dikuasai.
Orang-orang seperti kita, saya dan
Anda, tidak diragukan lagi, pasti sudah mampu menyusun kalimat, meskipun
belum memahami hakikat subjek dan predikat; tidak hafal arti awal me-
dan ber-. Intuisi kita sebagai makhluk yang mampu berbahasa sudah dapat
menentukan mana kalimat yang benar dan mana yang tidak/kurang benar.
Saya juga kurang percaya kalau semua penulis hebat itu juga mengetahui
teori-teori linguistik. Namun saya percaya kalau mereka menguasai
logika, etika, dan stilistika dalam aplikasinya.
Orang-orang yang pintar
menulis/mengarang memahami dengan baik bagaimana mengembangkan ide-ide.
Mereka terlatih mengembangkan ide dalam bentuk deduktif dan induktif;
mereka memahami bagaimana teknik-teknik memberi ilustrasi, generalisasi,
sebab-akibat, analogi, dan contoh-contoh. Mereka menguasai
teknik-teknik menyampaikan ide dalam bentuk deskripsi, narasi,
eksposisi, argumentasi, dan persuasi. Di samping itu, mereka juga lincah
dalam memilih kata kunci, definisi, dan memanfaatkan kata-kata atau
ungkapan transisi.
Pada saat menyusun ide-ide menjadi
artikel, penulis hebat memahami dengan baik bagaimana memberi judul,
teras (lead), sudut pandang (angle), fokus tulisan (thesis), dan
kesimpulan sehingga pembaca tidak mau berhenti sebelum selesai membaca
tulisannya. Penulis hebat juga memahami dari mana harus memulai tulisan
dan kapan harus diakhiri serta bagaimana mengakhirinya. Akhirnya, mereka
juga tahu media mana yang cocok untuk tulisannya sesuai dengan segmen
pembacanya.
Elemen-elemen dasar itu perlu
dikuasai dengan baik agar tulisan menjadi enak dibaca. Semua elemen itu
menjadikan tulisan menarik karena masing-masing paragraf disusun secara
bervariasi. Enak dibaca adalah kunci utama tuisan baik. Redaktur media
massa tidak mempunyai waktu yang cukup untuk membaca semua tulisan yang
masuk dari awal sampai akhir. Mereka hanya membaca paragraf pertama
(lead) dan paragraf terakhir (kesimpulan). Apabila kedua bagian itu
menarik dan enak dibaca, baru mereka membaca keseluruhan paragraf
artikel itu. Apabila kedua bagian itu tidak enak dibaca, tong sampah
sudah siap menunggu. Perilaku pembaca hampir sama dengan redaktur,
apabila paragraf pertama tidak menarik, mereka pindah ke artikel lain.
Di samping elemen-elemen dasar
menulis/mengarang itu, penguasaan kosa kata mutlak diperlukan. Kata-kata
merupakan “batu bata” sebuah tulisan. Kita memilih “bata” yang tepat
dan menyusunnya menjadi bangunan yang menarik. Ketika bangunan menarik
itu selesai, pengamat tidak melihat bata-bata yang kita susun satu
persatu karena ia telah menyatu menjadi sebuah bangunan indah. Ketika
tulisan selesai dan dimuat di media massa, pembaca hanya tahu tulisan
itu menarik atau tidak. Pembaca tidak akan meneliti satu persatu
kata-kata yang kita gunakan. Kata-kata telah menyatu menjadi kalimat,
menjadi paragraf, dan menjadi wacana. Ia sudah menjadi ide. Oleh sebab
itu, sebelum tulisan dikirim ke media, Anda harus memastikan bahwa
kata-kata yang digunakan telah terpilih dengan tepat dan tersusun denga
tepat pula.
Pemilihan kata bergantung pada
bentuk tulisan dan pembaca sasarannya. Artikel untuk jurnal ilmiah dapat
menggunakan kata-kata ilmiah/kajian karena pembacanya terbatas, yaitu
mitra bestari bidang ilmu itu. Pada artikel untuk media massa (artilel
populer) seperti surat kabar atau majalah tidak perlu digunakan
kata-kata ilmiah/kajian, tetapi kata-kata populer pula agar semua
pembaca dapat memahami maksudnya. Kelincahan memilih kata ini bergantung
pada “jam terbang” sebagai penulis. Namun, Anda tidak akan mempunyai
“jam terbang” kalau belum memulainya.
Penguasaan kosa kata tidak dapat
hanya dengan menghafal kamus, bahkan itu tidak mungkin. Kosa kata kita
kuasai melalui menulis atau mengarang itu sendiri. Orang yang banyak
menulis/mengarang dapat dipastikan juga menguasai banyak kosa kata
karena kegiatan ini bersifat produktif.
Mungkin kita dapat menjawab
pertanyaan orang yang menanyakan arti sebuah kata, tetapi belum tentu
kita mampu menggunakan kata yang sama pada saat menulis. Kemampuan
menjawab pertanyaan itu dapat kita lakukan karena penguasaan kita
bersifat pasif, diminta dulu baru memberi; kemampuan menghasilkan
tulisan bersifat aktif; memberi tanpa diminta. Jadi, dengarlah, bacalah,
dan tulislah karena pengetahuan dan keahlian kita akan berkembang
dengan baik melalui kegiatan menulis daripada membaca atau berdiskusi
saja. Semoga saja.